Dahulu
kala ada gadis yang sangat cantik dari keluarga bangsawan yang ingin menjadi wanita
shalehah. Karena di jaman itu pendidikan untuk wanita ini terbatas,
maka cara yang paling efektif untuk belajar adalah melalui suami yang
shaleh. Ketika si gadis ini hendak menikah, dengan keterbatasan
ilmunya dia mensyaratkan tiga hal bagi lelaki yang layak untuk menjadi
pendamping hidupnya. Tiga hal ini adalah mengkhatamkan Al-Qur’an
setiap hari, shalat malam sepanjang malam setiap malam dan berpuasa setiap hari
sepanjang tahun.
Dengan
syarat yang sangat berat bagi kebanyakan orang ini, tidak ada laki-laki dari
kalangan bangsawan yang berani melamar gadis cantik yang ingin menjadi wanita
shalehah tersebut. Satu-satunya yang berani melamar dan sanggup memenuhi tiga
syarat tersebut adalah pemuda lugu dari desa dengan penampilan
yang biasa-biasa dan jelas tidak memiliki keturunan bangsawan sama sekali.
Setelah
berjanji di depan ayah si gadis bahwa dia sanggup memenuhi seluruh persyaratan
yang diajukan putrinya, maka dinikahkanlah pemuda desa yang lugu ini dengan
gadis cantik tersebut dengan disaksikan sejumlah kerabat dan handai taulan.
Hari
demi hari dilalui oleh pasangan baru ini , tetapi si istri tidak melihat
suaminya tersebut shalat malam. Sehabis shalat isya setelah bersenang-senang
dengan istrinya – dia terus tertidur sampai subuh. Awalnya sang istri pun
memaklumi, “mungkin ini karena masih penganten baru” pikirnya.
Di
siang hari sang istri juga mengamati ternyata si suami tidak terus berpuasa
seperti janjinya, tidak pula membaca Al-Qur’an sampai khatam setiap hari. Maka
setelah bulan berganti bulan suaminya tidak nampak memenuhi janjinya sebelum
menikahi dirinya, sang istri mengajukan gugat cerai ke pengadilan yang dipimpin
oleh hakim yang adil dan berilmu.
Ketika
si istri yang mengajukan gugat cerai ini ditanya oleh hakim – mengapa dia
melakukan gugat cerai, dia menjelaskan bahwa suaminya ternyata tidak memenuhi
syarat yang diperjanjikan sebelum menikah. Hakim bertanya pula apa
syarat-syarat yang dimaksud ? dijawabnya dengan tiga hal tersebut diatas.
Kemudian
sang hakim ganti bertanya kepada si suami yang nampak lugu dan tenang di
hadapannya, “Benarkah sebelum menikahi istrimu ini engkau berjanji sanggup
meng-khatamkan Al-Qur’an setiap hari, shalat malam sepanjang malam setiap malam
dan berpuasa setiap hari sepanjang tahun ?”. Si suami menjawab “Benar
pak hakim !”.
Sang
hakim pertanya kembali : “ Lantas mengapa janjimu tidak engkau tepati
setelah bener-bener bisa mengawini istrimu ini ?”. Si suami menjawab : “Sungguh
pak hakim, semua janji saya selalu saya penuhi”. Lalu sang
hakim bertanya lagi : “ tetapi menurut kesaksian istrimu sendiri, dia
tidak pernah melihat engkau memenuhi syarat-syaratnya ? dia tidak melihat
engkau meng-khatamkan Al-Qur’an setiap hari, shalat malam sepanjang malam
setiap malam dan berpuasa setiap hari sepanjang tahun ?”
Si
suami dengan tenangnya menjelaskan, begini pak hakim : “setiap hari
saya membaca surat Al–Ikhlas tiga kali, dan menurut Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ini sama dengan membaca seluruh Al-Qur’an”.
Hakim yang berilmu dan adil ini langsung paham apa yang dimaksud oleh si suami.
Dia
penasaran, melanjutkan pertanyaan : “Tetapi bagaimana engkau shalat
sepanjang malam setiap malam ?, sedangkan istrimu selalu melihat engkau tidur
pulas sampai subuh ?”. Dijawabnya dengan PD pula : “saya
selalu shalat isya’ berjamaah di Masjid, kemudian paginya saya kembali
berjamaah pula shalat subuh di Masjid, maka menurut Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ini seperti shalat sepanjang malam”. Kembali
si hakim manggut-manggut meskipun belum puas.
Dia
bertanya lagi : “Di siang hari istrimu tidak juga melihat engkau berpuasa ?”. Sambil
tersenyum si suami yang lugu inipun siap menjawabnya : “Adapun untuk puasa
ini pak hakim, saya berpuasa sebulan penuh di bulan
Ramadhan, kemudian saya juga puasa enam hari di bulan syawal.
Menurut Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, berpuasa sebulan penuh di
bulan Ramadhan dan enam hari di bulan syawal adalah seperti berpuasa sepanjang
tahun !’. Sang hakim-pun tersenyum puas dengan jawaban si suami.
Kemudian
sang hakim menyampaikan ke si istri : “Setelah saya dengarkan penjelasan
suamimu, suamimu sepenuhnya memenuhi syarat seperti yang engkau tetapkan
sebelum dia menikahimu, oleh karenanya engkau tidak cukup alasan untuk
menggugatnya cerai atas syarat itu. Silahkan lanjutkan rumah tanggamu,
insyaAllah Allah memberkahi kalian berdua…”.
Kepada
si suami sang hakim berpesan : “Engkau benar dengan
jawaban-jawabanmu, dan engkau sepertinya memenuhi syarat untuk tetap menjadi
suami dari istrimu ini sejauh engkau istiqomah
melaksanakan apa yang sudah engkau laksanakan”, kemudian dia melanjutkan :
“tetapi, seharusnya dari waktu ke waktu engkau bisa berbuat lebih dari yang
dipersyaratkan istrimu. Dengan itu engkau bisa berbuat ikhsan
terhadap istrimu – lebih dari yang dia persyaratkan – dan engkau-pun insyaAllah
akan mendapatkan yang lebih dari yang sudah engkau dapatkan selama ini…”.
Itulah
gunanya ilmu sebelum kita berbuat atau beramal, ilmu akan
memudahkan amal dan melipat gandakan hasilnya. Ilmu bisa membuat yang nampaknya
berat menjadi ringan, yang nampaknya tidak mungkin menjadi mungkin. Sebaliknya
berbuat atau beramal tanpa berilmu bisa lebih banyak merusak daripada
memperbaiki. Wa Allahu A’lam.
Sumber:
geraidinar.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar